• Posted by : Ishimaru Masahiro 26 Apr 2016

    Setiap malam aku selalu melihat jauh ke atas, ke tempat yang tidak kutahu batasannya. Aku memandangi bintang-bintang kecil yang bertaburan di angkasa. Sembari berharap bahwa malam ini dia akan muncul di hadapanku. Meski akhirnya aku tahu harapanku akan tetap jadi harapan yang sia-sia disetiap malam begitupun malam ini.

    “Bintang... kamu tahu kan perasaan aku? Tapi kenapa kamu diam saja? Dia dimana? Dia sedang kencan kan malam ini?”
    Aku masih ingat betul pertama kali kencan dengan dia dan mengucapkan janjinya beberapa tahun silam. Dia memintaku untuk tetap mencintainya, apa pun yang akan terjadi. Aku ingat, aku dan dia sama-sama sangat menyukai indahnya kemerlip bintang.

    “Bintangnya cantik ya? Sama kaya kamu. Cantik! Kamu tahu? Aku selalu ingin jadi bintang yang bersinar disetiap malam kamu.” Kenangku.

    Aku selalu menangis. Bukan menangisi janjinya yang tak kunjung menjadi nyata. Air mataku selalu terurai bersama kerinduan yang menjelma dalam hatiku. Kerinduan yang selalu mengundang amarah orang tuaku.
    “Kamu itu mau sampai kapan terus menreus berkhayal.” Ibu selalu menganggap semua ini hanyalah khayalan belaka.

    Memang, jika saja logikaku lebih bisa berjalan dengan semestinya, apa yang ibu bilang memang lebih benar. Tapi pada kenyataannya logikaku selalu terkalahkan, rasa yang terus menggelayuti batinku. Batin yang berjanji untuk selalu menanti.

    Februari 2014
    Sadarkah aku saat malam berhenti menyapa.
    Saat bulan tak lagi memberiku sinar.
    Tak pernah aku tahu tentang itu.
    Tak pernah aku perduli tentang itu.

    Tapi…
    Adakah yang mengerti sakitku ini.
    Menahan sayatan tajam didalam hati.
    Hanya kau jawabnya!
    Kau yang mampu bangkitkanku dari sini.

    Aku bangkit bersama cintamu.
    Bersama jajaran kasih tulusmu.
    Hingga kusandarkan jiwaku di sini.
    Sampai kapan pun tetap akan di sini.
    Untukmu...


    Aku terhenyak. Begitu lama aku meninggalkan duniaku, dunia yang ada bersama diriku sendiri. Aku tahu bahwa sebuah kebodohan itu sebenarnya adalah keinginanku sendiri. Keinginan yang perlahan-lahan tak lagi aku mengerti.
    Aku mungkin sudah terlampau jauh melangkah. Terlampau banyak pula kisah yang aku tinggalkan. Tapi tetap tidak untuk satu kisah dan satu nama. Nama yang telah membuatku selalu mengaguminya, mencintai keindahan dalam raganya, meski aku tahu hatiku selalu ingin membatasi rasa cinta itu.
    “Aku kangen sama kamu...” Air mataku meleleh lagi.

    Kubuka lembar demi lembar album besar yang menyimpan serpihan-serpihan kenangan yang pernah terajut bertahun lalu. Kusentuh lembut gambar wajahnya. Senyum menawan yang kini hanya tinggal garis lengkung dalam gambar semata.
    “Kamu kenapa sih menghilang? Memangnya enggak kangen, ya, sama aku.” Air mataku semakin deras membasahi pipi. Menahan perih yang kembali menyayat.

    Oktober 2015
    Kututurkan segenap ilusi ini.
    Mengeja segala daya yang tak nyata.
    Aku membingkai titik-titik kecil.
    Yang bagimu sungguh tak berarti apa-apa.

    Kuulas senyum di sudut bibirku.
    Membiarkanmu menyangka aku bahagia.
    Meski dibalik cadar tawa ini aku menangis pilu.
    Namun tertahan kemunafikan.

    Ingin aku bercerita pada rinai yang turun.
    Betapa kalut jiwa yang hampa ini sendiri.
    Ingin aku bertutur pada rinai yang berderai.
    Menutupi bulir-bulir dari sudut mata yang sayu.

    Dan...
    Aku masih membisu...
    Terdiam, kelu.
    Di sini, dibawah guyuran air mataku.


    Aku mengangkat daguku. Menahan buliran-buliran yang siap meluncur dari pelupuk mataku. Sejenak aku kembali menatapi fotonya.
    “Aku akan melangkah sayang... tapi bukan untuk meninggalkanmu.” Aku tersenyum dan berlalu.
    Kucium tangan ibu dan ayah. Meminta doa dan restu agar perjalananku diberi keselamatan.
    “Ibu yakin kamu bisa bangkit sayang... dan ini waktunya. Fokuslah ke kuliahmu agar kamu bisa benar-benar bangkit.” Ibu mendaratkan kecupan manis di dahiku.
    “Dia pasti senang melihat kamu kembali menjadi kamu yang dahulu. Kamu yang tegar, kamu yang selalu ceria.” Ayah menambahi.
    “Iya Bu, Yah. Maaf ya selama ini aku terlalu larut dalam kesedihan. Aku cuma belum terima. Tapi, sekarang aku sudah tidak apa-apa kok. Dia pasti sudah menemukan kebahagiaan lain.” Aku berlalu meninggalkan bunda dan ayah. Mengulas senyum demi hari yang lebih indah, tanpa air mata.

    Desember 2015
    Dan...
    Biarlah kusimpan perasaan ini.
    Menutup hatiku pada cinta yang lain.
    Bila akhirnya kutemukan cinta sepertimu.
    Mungkin aku bisa lanjutkan hidupku.


    “Tiga tahun sudah kau meninggalkanku. Selama itu pula aku terpenjara dalam bayang-bayang kasih dan cintamu. Kini saatnya aku terbangun. Membingkai kebahagiaan untuk hidupku. Meski aku akan tetap selalu merindumu hingga saat nanti ragaku ini tak mampu lagi menanti.”

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © 2013 Tony's Blog - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan - Edited by TonyKuchiki -